Friday, July 4, 2014

Tulisan Basi (Untuk Yang Antipati)

Jujur, tanganku masih gatel buat ngetik.
Tulisannya mungkin identik, sedikit mengkritik, tanpa niat yang picik.
Ini bukan puisi, sajak, atau pantun, tapi mungkin bisa membuatmu sedikit tersenyum santun.

Tentang ketidaksabaranku menunggu tanggal sembilan Juli,
biar nggak ada lagi caci-maki menghujani BBM, Twitter, Facebook, dan mungkin note ini.

Sudah pasti pilihan kita beda.
Pacarmu pilihanmu, pacarku pilihanku. Istriku pilihanku, istrimu pilihanmu.
Capresku capres pilihanku, capresmu capres pilihanmu, 
mungkin juga paksaan bosmu, Harry Tanu (oe).

Nggak perlu teriak sinting, maling, anjing, kalau ternyata cerminmu tak terpasang di dinding. Apa kamu punya cermin?
Nggak perlu nuduh lawan komunis kalau sebenarnya kamu lebih bengis. Miris.
Nggak perlu nuduh pencitraan kalau sebenarnya lima tahun terakhir kamu terus-terusan ngiklan.
Nggak perlu sok-sokan tegas kalau sebenarnya kamu ganas beringas.

Terimakasih,
Saya dari awalnya dan #AkhirnyaMilihJokowi
bukan karena iming-iming materi, ini masalah nurani

Tulisan ini bukan untuk membuatmu pindah haluan,
tapi untuk memberikan pertimbangan buatmu sebelum mengambil keputusan.

Siapapun nanti, yang memimpin negeri ini,
kalaupun kalah, kita tetap dukung yang menang - itu pasti,
kalau menang, kita bisa sedikit berbangga hati,
karena setidaknya kita turut andil dalam pilpres kali ini.

Tidak hanya diam.

Tidak hanya menuduh orang lain berisik.
Tidak hanya menuduh orang lain sok ngerti politik.

Titik.

Friday, June 27, 2014

Semuanya Akan Kembali Seperti Biasa. Semoga.

Selamat pagi.

Sebelumnya saya minta maaf kalau akhir-akhir ini jadi rajin nulis. Berdasarkan pengalaman sih, saya rajin nulis hanya jika dua kondisi ini terjadi: satu, lagi gelisah, dua, lagi nggak punya duit. Kali ini dua-duanya terjadi. Eits- bukannya ngeluh, Boss. Kalau saya bilang 'akhir-akhir ini', berarti saya sudah nggak rajin nulis dalam waktu yang cukup lama, yang artinya saya nggak gelisah dan punya banyak duit cukup lama. Alhamdulillah. Saya bahagia dan kaya.

Cukup mukadimahnya.

Apa lagi yang saya tulis kalau bukan soal capres? Yang bosan dengan tulisan saya (yang baru 2 artikel) tentang capres, mending stop disini bacanya, jangan dilanjutin.

Saya nggak akan membahasa capres no. 1 atau no. 2 kok, tapi lebih ke 'kita'-nya. Ya, kita. Calon pemilih di pilpres 9 Juli nanti. Yang udah mutusin buat golput, stop disini aja bacanya ya, jangan dilanjutin. Percuma, Tong... Toh lu juga kagak bakalan milih. Turut berduka cita buat para 'golputers' atas ketidakpedulian dan ke-kurangpintaraan mereka.

Seperti yang kita tahu, pendukung masing-masing capres 'saling serang' di hampir semua media, baik itu sosmed, cetak, sampai TV. Baik pendukungnya si ini dan si itu nggak mau kalah. Si ini punya bukti ini, si itu membantah dengan bukti itu. Ini itu ini itu tanpa melihat dulu, karena sepertinya mereka sudah sama-sama buta dan lupa, kalau sebenarnya mereka sama-sama orang Indonesia, yang pada akhirnya harus bersatu membela negaranya.

Pertanyaannya, setelah 9 Juli nanti, siapapun pemenangnya, mau jadi apa kita? Apakah akan tetap saling lempar 'status sinis' kepada (orang yang sebelum pilpres adalah) teman-teman kita sendiri? Apakah kita akan tetap menganggap teman yang beda pilihan dengan kita adalah 'kawan tersesat' yang harus diluruskan jalannya dengan segala cara? Semoga tidak. Siapapun yang menang nanti, apakah itu capres-mu atau capres-ku, kita harus tetep kerja, cari duit. Kita nggak akan dapat rejeki nomplok dari pemenang pilpres. Kita nggak akan mungkin langsung naik jabatan kalau capres pilihan kita menang. Setelah pilpres, semuanya akan berjalan seperti biasa. Semoga.

Untungnya, besok sudah masuk bulan Puasa. Mungkin dengan berpuasa, pikiran-pikiran buruk, cacian, sinisme, sarkasme, dan hal-hal negatif lain bisa kita kurangi. Sudahlah, kalau memang niat dan ingin menunjukkan dukungan kepada capres pilihanmu, mbok ya tunjukkin sisi positifnya aja, tanpa lempar yang negatif ke 'kubu' lawan. Saya, jujur, mungkin secara sengaja atau nggak sudah menyerang capres yang bukan pilihan saya dan para pendukungnya. Tapi, jujur (lagi), serangan saya itu lebih ke 'counter-attack' karena saya merasa diserang lebih dulu. Jadi cukup lah. Semuanya akan terjawab kurang dari dua minggu lagi.

Dukung capres pilihanmu dengan kreatif, buka pikiran biar bisa #Mikir.

Salam damai. Salam dua jari.

Monday, June 23, 2014

Jokowi Itu Cuma BONEKA!

Semalam saat acara debat capres 3 ditayangkan di TV, saya sempat BBM-an dengan seorang teman. Seperti ini:


Dari situ saya simpulkan, bahwa teman saya ini memilih untuk mendukung Prahara karena:
1. Jokowi adalah capres BONEKA-nya Megawati.
2. Jokowi adalah pemimpin abal-abal/instan, belum selesai bekerja sebagai gubernur, sudah jadi capres.

Oke, sekarang saya akan coba jawab, siapa tahu bisa membuka pikiran (termasuk siapapun yang membaca ini). :)

Kebanyakan orang berpikir, Jokowi maju jadi capres karena dia 'dikendalikan' layaknya boneka dari balik layar oleh Megawati, yang adalah Ketua Umum PDI-Perjuangan. Tapi di debat capres 2 yang lalu, Jokowi dengan tegas menyatakan bahwa dia hanya "Tunduk pada konstitusi dan Kedaulatan Rakyat". Megawati sendiri juga membantah bahwa Jokowi bukan capres Boneka (Baca di sini: http://bit.ly/V3BdgH). 

Selain itu, di debat capres-cawapres 1, kalau sampeyan semua masih ingat, Jokowi bilang, "Calon Presiden tidak harus ketua umum Partai". Jokowi dipilih jadi capres PDI-P memang oleh Megawati, tapi sudah jelas yang namanya Partai/Organisasi, keputusan nggak diambil sepihak, melainkan keputusan banyak pihak, termasuk petinggi PDI-P yang lain. (Biar lebih jelas, baca ini >>> http://bit.ly/UxUF4F).

Alasan yang lain yang mementahkan pernyataan bahwa Jokowi adalah capres boneka adalah rekam jejaknya saat masih menjabat sebagai walikota Solo dan Gubernur DKI Jakarta. Saat masih jadi walikota Solo, Jokowi tidak didikte oleh petinggi PDI-P Solo, bahkan oleh Gubernur Jawa Tengah. Hal yang sama terjadi ketika Jokowi menjadi Gubernur DKI Jakarta, bisa dilihat dari cara Jokowi yang melakukan lelang jabatan untuk seseorang bisa menduduki posisi-posisi strategis di pemerintahan DKI Jakarta. Tidak ada satu kader PDI-P pun yang dapat jabatan di DKI selama Jokowi menjabat. Lelang jabatan itu dilakukan dengan memilih orang-orang yang benar-benar berkompeten. Masih dianggap boneka? :) (Baca nih >>> http://bit.ly/1ji8tcD).

Prabowo sendiri di tahun 2009 mengaku bahwa dia adalah WAYANG adiknya. Beda BONEKA sama WAYANG apa ya?

Ditambah lagi, menjadi walikota terbaik ke-3 di DUNIA dan masuk ke dalam 50 Pemimpin Terhebat versi majalah internasional FORTUNE adalah hal yang luar biasa untuk seseorang yang dianggap 'boneka'. :)

Komitmen dan kepatuhannya kepada konstitusi, menunjukkan betapa pahamnya Jokowi pada sistem tata negara yang tidak mengenal istilah capres boneka” - Poempida Hidayatullah (Politisi Partai Golkar, Partai koalisi Gerindra)
Selanjutnya, Jokowi adalah Capres instan/abal-abal? Yakin lu, Tong?

Lihat lagi track record-nya Om Joko.
1. Jadi Walikota Solo Periode 1.
2. Jadi Walikota Solo Periode 2 (Menang Pemilihan dengan 91% suara TANPA KAMPANYE).
3. Jadi Gubernur DKI Jakarta.

Terus yang bilang Jokowi kerjaannya belum selesai di Jakarta, saya tanya: Lu hidup di Jakarta kagak? Karena, menurut mereka yang tinggal di Jakarta, ada banyak perubahan positif yang terjadi di Jakarta setelah Jokowi menjadi Gubernur:
1. Waduk Pluit yang semula kumuh dikeruk dan fungsinya menjadi taman kota sekaligus waduk penanganan banjir.
2. Waduk Ria-Rio yang semula kotor, tidak terawat, dan dipenuhi enceng gondok, dibenahi dan dibuka kembali 26 September 2013. Dilengkapi dengan wifi gratis dan pohon baobab yang teduh, serta tanaman eksklusif di seluruh tamannya, Waduk Ria Rio berubah wujud menjadi tempat rekreasi warga Jakarta. (Password wifi gratisan di mari: pulomasjaya)
3. Baca disini aja deh lebih lengkap >>> http://bit.ly/1gPnG4A

Secara masa jabatan, memang tugas Jokowi belum selesai sebagai Gubernur Jakarta, tapi bukan berarti dia nggak bekerja, Tong. Kalau Jokowi yang sudah bekerja untuk rakyat selama 10 tahun terakhir dianggap karbitan dan instan, capres satunya lagi gimana? Apa prestasi Prabowo yang berdampak langsung untuk rakyat luas? Penculikan aktivis? Hehehehe.

Demikian 'pembelaan' saya atas tuduhan terhadap presiden saya, terutama untuk mereka yang jadi korban Tabloid Obor Rakyat dan Black Campaign semacamnya. Saya (akan) memilih Jokowi-JK secara ikhlas, dengan semua kelebihan dan kekurangan mereka. Jokowi-JK bukan tanpa cela, mereka juga punya kekurangan, kekurangan yang mampu ditutup oleh potensi dan kelebihan mereka.

Untuk yang meluangkan waktu membaca dan meng-klik semua link di artikel ini, terimakasih. Seperti pesan Cak Lontong, saya ingin mengajak anda untuk MIKIR.

Jaman demokrasi, kalau beda jangan sensi. Salam Dua Jari.

Thursday, June 19, 2014

Kenapa Saya Pilih ....?

Salam.

Akhir-akhir ini sering sekali saya update status atau menulis hal-hal yang berhubungan dengan pilpres di media sosial. Beberapa teman saya bahkan bertanya, setan apa yang sudah merasuki saya sampai sebegitu pedulinya dengan pilpres? Jawabannya sederhana tapi panjang.

Dari awal, saya bukan orang yang peduli dengan hiruk-pikuk politik tai asu dan semacamnya. Saya lebih suka main bola atau main game. Memang, bapak saya adalah pengurus (atau bahkan mungkin ketua, saya nggak tahu persis) salah satu partai politik di tingkat desa. Tapi bukan berarti beliau bisa memaksa saya untuk memilih parpol tertentu.

Tahun 2004, saya belum punya hak pilih karena belum cukup umur. Tahun 2009, bapak memaksa saya untuk memilih caleg dan parpol tertentu, yang akhirnya nggak saya pilih dan saya dimarahi. Waktu itu, saya memilih apa yang ingin saya pilih tanpa alasan spesifik. Pun untuk Pilpres yang dimenangkan SBY, saya nggak nyontreng apa yang 'diinstruksikan' bapak saya. Jelas, dari awal punya hak pilih saya nggak peduli dengan politik, yang penting bisa kerja, bisa ngajak pacar kencan, bisa main game, persetan dengan siapa presiden Indonesia. Tapi saya bukan golput. Pemilu tahun 2014, saya nggak peduli parpol mana atau siapa caleg yang menang. 

Semuanya berubah saat 2 calon presiden dan wakilnya resmi diumumkan KPU.

Saya pernah baca beberapa berita/artikel tentang Joko Widodo, jauh sebelum mobil EsemKa diberitakan. Saya juga pernah baca dan melihat berita di TV tentang Prabowo Subianto saat saya masih belum akil baligh, tahun 1998. Saya melihat kerusuhan 1998 lewat TV walaupun saat itu saya yang masih SD nggak terlalu mengerti pokok persoalannya.

Saya orang yang suka membaca, bahkan saat makan dan boker pun saya bawa bacaan, entah itu koran, majalah, dll. Tanya Ibu saya kalau nggak percaya. Dari rentang waktu saya belajar dan mulai suka membaca sampai sekarang, banyak hal yang saya ingat dari apa yang pernah saya baca. Dari situ, begitu 2 nama capres ini muncul, saya tahu siapa yang harus saya pilih.

Nggak perlu saya sebutkan siapa-siapa dan menyebutkan apa prestasinya dan lain-lain (mungkin untuk tulisan berikutnya kalau saya sempet nulis). Maksud saya menulis ini adalah untuk menjelaskan kenapa saya peduli dengan pilpres, dan kenapa saya getol menunjukkan dukungan saya kepada salah satu capres. Saya banyak mendapatkan informasi dan pengetahuan dari apa yang saya baca (dan kadang-kadang yang saya tonton di TV). Sumber bacaan dan tontonan saya pun bervariasi, kadang Media Indonesia kadang VivaNews, kadang MetroTV kadang TVOne, seringkali dari sumber lain yang netral.

Pesan saya buat "adik-adik" kelahiran '92 ke atas yang beda pilihan dengan saya, JANGAN BANYAK BICARA SEBELUM BANYAK MEMBACA. Menunjukkan dukungan ke salah satu capres haruslah dengan cara yang sopan dan berwibawa, seperti pesan capres-mu. Jangan sebaliknya. Atau jangan-jangan dukungan kalian cuma karena ikut-ikutan tanpa alasan dan hanya asal-asalan?

Sekian.

Note:
Saya bukan anggota tim sukses salah satu capres. Tulisan ini murni isi dari otak saya yang perlu saya keluarkan lewat tulisan.

Sunday, March 10, 2013

Jadi Begitu

Lama nggak bercerita.

Oke, mulai darimana? Oh- ya. Sekarang saya sudah nggak bekerja di Radio lagi. Lumayan lah, 3 tahun terakhir capek juga. Bukan apa-apa, saya memutuskan untuk menjalani cita-cita lama saya dari SMA, menjadi kuli tambang.

Kuli? Memang sih kedengarannya cukup nista. Weits! Nggak ada pekerjaan yang nista. Semua pekerjaan itu baik, kecuali mencuri, merampok, memperkosa, dan sejenisnya. Korupsi terutama. Oke, untuk lebih jelasnya, tentang bagaimana awalnya saya meninggalkan pekerjaan di Radio (yang sebenarnya sangat saya cintai) dan menjadi kuli tambang, saya akan mewawancarai diri saya sendiri.

Q : Halo, apa kabar, Virgo? Atau Igo?
A : Kabar baik, Alhamdulillah. Terserah mau panggil apa saja, asal jangan panggil saya Mbak.
Q : Jadi, kenapa anda memutuskan untuk berhenti bekerja di radio?
A : Sebenarnya, saya nggak ingin berhenti, nggak pernah. Hanya saja, hidup itu penuh kejutan. Bentuk kejutannya macam-macam. Mulai dari kabar, pengalaman, sampai kesempatan. Nah, yang saya temui adalah kejutan yang terakhir saya sebutkan tadi.
Q : Jadi, anda memutuskan untuk berhenti bekerja di radio karena ada kesempatan lain yang lebih bagus?
A : Lima puluh persen, ya. Lima puluh persen yang lain... Kamu pernah dengar comfort zone?
Q : Yang ada di iklan-iklan pembalut wanita?
A : Matamu! Comfort zone alias zona nyaman itu adalah saat kamu bekerja di satu tempat atau perusahaan, dan kamu menguasai, atau seenggaknya merasa menguasai dalam kasus saya, semua pekerjaan yang kita lakukan di perusahaan. Sehingga kita merasa nyaman, lama-lama demotivated alias nggak ada motivasi lagi. Stuck. Sejauh pengetahuan saya seperti itu sih. Nggak tahu kalau ada penjelasan lain tentang comfort zone.
Q : Anda merasa menguasai semua pekerjaan di perusahaan lama?
A : Sama sekali enggak. Masih banyak hal yang harus saya pelajari. Tapi, di kantor saya sebelumnya, di situlah saya banyak sekali belajar mulai dari A sampai Z. Saya sangat beruntung bekerja di tempat itu.
Q : Kesimpulannya adalah, anda memutuskan banting stir dari orang radio menjadi orang tambang karena ada kesempatan dan anda merasa terlalu nyaman dengan pekerjaan di radio?
A : Jangan menyimpulkan sesuatu sembarangan. Bukan begitu. Ah, saya jadi bingung kan? Nggak gitu. Jadi, jauh sebelum saya mendapat kesempatan untuk mencoba bekerja di radio saat masih kuliah sekitar 7 tahun lalu... 7 tahun. Damn. Tua juga ya... Nah, sebelum bekerja di radio pertama, saya punya cita-cita untuk bekerja di perusahaan pertambangan. Alasannya sederhana, saya melihat pakdhe saya cukup sukses bekerja di pertambangan. Terutama secara finansial. Sebelum lulus SMA, saya punya cita-cita untuk itu. Jadi anggap saja, keputusan yang saya ambil ini adalah bagian dari cita-cita hidup saya.
Q : Oke. Anda mata duitan juga rupanya?
A : Matamu lah... Siapa sih yang nggak butuh duit di dunia ini? Oke, kamu bisa bilang uang bukan segalanya, tapi- segalanya butuh uang? Memang, gaji, pendapatan finansial, juga menjadi pertimbangan saya untuk meninggalkan pekerjaan di radio. Tapi bukan berarti satu-satunya alasan saya adalah duit. Walaupun saya memang butuh duit buat biaya nikah akhir tahun ini.
Q : Anda curhat?
A : Nggak. Lu tanya, gua jawab. Cuk.
Q : Baiklah, walaupun alasan anda nggak begitu jelas. Anggap saja saya sudah mengerti. Pertanyaan berikutnya, apakah anda nyaman menjadi seorang kuli tambang?
A : Saya luruskan. Saya bukan kuli. Saya memang bekerja di bidang pertambangan, tapi saya bukan kulinya. Oke? Tapi nggak apalah kamu sebut kuli, yang penting gaji nggak kuli. Hmmm... Nggak terasa sudah satu bulan saya bekerja di kantor baru. Sejauh ini, cukup nyaman. Saya yang semula males buat hitung menghitung dan membuat formula-formula di Excel, menjadi sangat suka bermain Excel dan matematika. Menyenangkan, seperti main game. Saya merasa jadi insinyur. Hahaha
Q : Anda memang sombong atau pura-pura sombong?
A : Terserah penilaian orang.
Q : Apakah anda menyesal meninggalkan dunia radio dan menjadi kuli tambang seperti sekarang?
A : Saya nggak bilang meninggalkan dunia radio. Yang jelas ini adalah keputusan yang sudah saya ambil. Penyesalan hanya akan menendangmu ke jurang. Saya nggak menyesal. Di tempat dan bidang pekerjaan yang baru ini, saya menemukan banyak hal baru yang sama sekali belum pernah saya dapatkan sebelumnya. Yang paling menyenangkan adalah, saya bertemu dengan orang-orang dari belahan wilayah lain di Indonesia. Batak, Bugis, Banjar, Dayak. Semua suku ada di sini. Saya berkenalan dengan mereka, berteman dengan mereka, dan yang paling saya suka adalah mempelajari bahasa daerah mereka.
Q : Baik. Terimakasih atas waktunya.
A : Ya. Silahkan pergi.

- END -
Powered By Blogger