Monday, July 30, 2012

Puasa di Pulau Dewata: Dua

Hi, Bro. Hi, Sis.

Seperti yang saya tulis di artikel sebelumnya, (kalau ada waktu) saya akan menulis tentang pengalaman pertama melewati bulan Ramadhan di pulau Bali. Sebenarnya saat menulis ini, waktu saya juga nggak banyak-banyak amat, karena ini jam kerja. Rehat sebentar lah, nge-game terus bosen... #eh


Oke. Jadi begini. Kalau nggak salah hitung, hari ini (30 Juli 2012) adalah hari kesembilan saya menjalankan puasa Ramadhan. Hebatnya, nggak ada yang bolong! Heuheuheu. Inget dulu pas masih di Jawa, setannya lebih ganas, lihat es degan langsung ngajak 'mokel'. Nggak tahu kenapa, mungkin karena beda setan atau karena saya sibuk kerja, gangguan atau godaan utama saat puasa di Bali bukan makanan atau minuman, tapi 'pemandangan' alam dan 'sekitarnya'. Bu Ustadzah bilang sih mata jelalatan bisa membatalkan puasa. Nggak tahu, apa mata saya jelalatan atau sekedar berolahraga ringan.

Warung sate langganan buka Puasa. :)
Satu hal yang membuat sedih adalah, saya hanya Shalat Tarawih di hari pertama. Bukan karena jauh dari Musholla atau apa, tapi karena selalu kekenyangan setelah buka puasa. Astaghfirullah... Semoga saya lekas disadarkan.


Berbeda dengan di Blitar (atau di kota lain di Jawa Timur), nggak ada pasar dadakan yang khusus jual takjil. Tapi, ada banyak pedagang dadakan yang jualan takjil, dan tempat mereka jualan agak berjauhan, jadi nggak bisa disebut pasar. Yang lebih edan lagi, nggak ada warung makanan yang tutup di siang hari. Semua buka, blak-blakan, orang-orang makan, minum, bayar di kasir warung, semua terlihat jelas! Tapi inilah tantangannya menjalankan puasa Ramadhan di tempat dimana muslim adalah minoritas.

Satu hal yang membuat saya senang adalah adzan. Kalau diluar bulan Ramadhan, jarang sekali saya mendengar suara adzan kalau nggak pas lewat depan masjid (dan pas adzan). Selain itu, musholla tempat saya shalat Tarawih setiap malamnya selalu ada orang yang baca atau khataman Al-Quran, walaupun nggak pake toak atau pengeras suara.

Kesimpulan di 10 hari pertama adalah: HEBAT. Toleransi beragama disini (Bali), menurut saya, adalah yang paling baik dibandingkan tempat lain di Indonesia. :)

Thursday, July 19, 2012

Puasa Di Pulau Dewata

Wew... Baru sadar kalau blog ini sudah terbengkalai selama 2 bulan lebih. -__-

Okay. Mari mulai menulis lagi. Pertama yang ingin saya tulis adalah waktu. Ya, waktu saya menulis ini, orang-orang di luar sana sedang bingung (seperti biasa) menentukan kapan tanggal 1 Ramadhan. Tahun ini, ada yang bilang tanggal 1 Ramadhan adalah 20 Juli, ada lagi yang bilang tanggal 21 Juli. Menurut jadwal Imsakiyah yang saya dapat dari Masjid Al-Irsyad, Kabupaten Badung, Bali, tanggal 1 Ramadhan adalah hari Sabtu tanggal 21 Juli 2012. Saya mengikutinya. Nggak peduli mereka Nahdlatul Ulama (NU) atau Muhammadiyah, karena buat saya Islam hanya satu: I S L A M.

Tahun ini adalah pertama kalinya saya ada di luar Kota kelahiran saya saat bulan Ramadhan. Kalau dulunya selalu ada di Balitar, sekarang saya ada di Bali. Beda tipis. BALItar dan BALI. Seperti yang kita tahu, mayoritas warga Bali beragama Hindu, tentunya suasana Ramadhan di Bali akan berbeda sekali dengan di Blitar. Mungkin saya nggak akan mendengar suara orang ronda setiap menjelang sahur. Mungkin nggak ada suara petasan setiap jam ngabuburit. Mungkin juga saya nggak akan mendengar sayup-sayup orang baca Al-Quran di malam hari. Tapi, Bali adalah surga. Termasuk untuk orang yang mendambakan kerukunan umat beragama seperti saya. Toleransi beragama di Bali sangat tinggi. Nggak jarang Pecalang (Polisi adat Bali) mengamankan orang-orang muslim yang beribadah di Masjid. Nice. Bali adalah Bhinekka Tunggal Ika Indonesia yang sebenarnya. :)

Saya belum tahu seperti apa nantinya Bulan Ramadhan disini. Yang jelas, ada beberapa kebiasaan menjelang Ramadhan yang saya temukan di sini, sama dengan apa yang biasanya saya lakukan di Blitar yaitu 'nyekar'. Siang tadi, bersama teman-teman kantor, saya nyekar ke makam seorang teman dan orang tua teman kantor saya yang kebetulan juga muslim. Tempat nyekar ada di pemakaman muslim di daerah Sidakarya, Denpasar. Walaupun nggak seramai pemakaman di Jawa, suasana pemakaman (muslim) di Bali menjelang Ramadhan sedikit mengingatkan saya dengan kampung halaman. Satu hal yang sangat berbeda, tanah pemakaman di sini memakai sistem sewa. Jadi, kalau ada saudara atau keluarga kita yang meninggal, kita harus bayar sewa tanah untuk makam. Kalau nggak salah 300 ribu rupiah per keluarga untuk sewa tanah pemakaman selama dua tahun.
Nyekar di pemakaman muslim Sidakarya, Denpasar
Dari cerita yang saya dengar, di sini juga ada kebiasaan ngabuburit, yang nggak kalah ramai dengan suasana ngabuburit di Jalan Merdeka Kota Blitar. Seperti apa jelasnya saya belum tahu. Semoga nanti tiap seminggu sekali saya bisa ceritakan lewat blog ini, bagaimana suasana Ramadhan di Bali. Marhaban Yaa Ramadhan. Selamat berpuasa. :)
Powered By Blogger