Tepatnya kapan, aku lupa. Tapi perempuan bernama Nina itu benar-benar membuat aku lupa jarak rumahku yang sangat jauh dari rumahnya. Aku menjadi stalker, penguntit lebih tepatnya. Nina, staff admin baru dari kantor sebelah, muncul saat aku baru putus. Atau lebih tepatnya diputus pasangan, untuk pertama kalinya setelah sewindu, oleh perempuan yang menjadi pasangan saya selama setengah windu.
Karena dia, check-log kantor yang biasanya tercetak dengan tinta merah, mendadak hitam. Sampai-sampai HRD kantor memberiku pujian karena rajin, padahal aku hanya ingin melihat Nina setiap pagi setiap memasuki kantornya. Walaupun sekelebat, tanpa dia menoleh sama sekali dan tanpa dia tahu aku memperhatikannya, rasanya tetap saja nikmat. Seperti melihat jus buah segar saat kepanasan dan tersesat di gurun Gobi.
Mendeskripsikan seorang Nina mungkin nggak susah kalau pernah melihat Anne Hathaway. Dengan bentuk tubuh yang nyaris sempurna di mata laki-laki seperti saya, bibirnya yang agak tebal, mata lebar, dan rambut panjang sedikit ikal, membuat Nina terlihat kembar identik dengan Anne Hathaway. Yang beda hanya warna kulitnya. Kulit Nina sangat Indonesia.
Sampai sekarang, untuk menyapa Nina saja belum juga terlaksana. Ada dua kemungkinannya: pertama karena fisik dan kecantikan tidak membuat aku gampang bilang suka atau cinta. Kedua, move on itu tidak segampang yang orang kira. Dua hal itu hanya kemungkinan, karena satu hal yang pasti, satu hari lalu Nina meninggal dunia karena leukimia. Tapi, cerita singkat tentang Nina, masih terekam jelas di dalam kepala.
Besok aku ingin menyapa Nina untuk pertama kalinya, walaupun yang kusapa hanya ukiran nama di batu nisannya.
“Hi, Nina. Aku sudah mengagumimu sejak lama.”
END