Senyumannya masih sama dari awal kami bertemu dulu. Senyuman malu-malu yang membuatku sedikit tergoda. Ya, sedikit saat awal, tapi sekarang sudah mulai tumbuh dan aku menjadi sangat tergoda.
“Yuk…”,
Suara perempuan lain yang muncul dari balik tirai tipis yang memisahkan kamar dengan ruang tamu dengan sofa yang salah satunya sedang aku duduki. Sekarang ada dua perempuan di depanku, Inka, pemilik suara yang juga pacarku, dan Sandra, perempuan dengan senyum khas yang sedari tadi duduk di sisi lain sofa ini.
Inka mengulurkan tangannya mengajakku pergi, meninggalkan Sandra sendirian.
“Kita pergi dulu, San. Daa…”, Inka berpamitan kepada Sandra yang tersenyum dan melambaikan tangannya. Aku menatap Sandra, berharap lambaian tangannya bukan untuk Inka.
Malam itu aku menghabiskan waktu bersama Inka di salah satu pantai paling indah di Pulau ini. Langit cerah, walaupun hanya ada beberapa bintang yang kelihatan ceria dan bulan yang nggak benar-benar penuh. Kami menikmati butir-butir pasir yang menggelitik telapak kaki, suara deburan ombak, dan kata-kata yang keluar dari mulut kami. Seperti malam-malam sebelumnya, lenguhan dan teriakan kecil Inka terdengar di telinga, berakhir dengan pakaian yang terbaring diatas pasir pantai.
Kami terbangun saat matahari masih berada jauh di timur dan belum menunjukkan sinarnya sedikitpun. Kami pulang, menuju tempat kost Inka yang hanya berjarak lima belas menit dari pantai ini.
Inka mengetuk pintu kostnya beberapa kali sampai muncul wajah Sandra yang membuka pintu. Saat inilah yang selalu aku tunggu. Sandra akan muncul dengan piyama transparannya, tersenyum di balik pintu, membiarkan Inka masuk, lalu melambaikan tangan kepadaku. Inka nggak merasa curiga karena Sandra begitu lihai sekali menggodaku tanpa harus diketahui siapapun.
***********
“Yuk…”,
Suara perempuan lain yang muncul dari balik tirai tipis yang memisahkan kamar dengan ruang tamu dengan sofa yang salah satunya sedang aku duduki. Sekarang ada dua perempuan di depanku, Inka, pemilik suara yang juga pacarku, dan Sandra, perempuan dengan senyum khas yang sedari tadi duduk di sisi lain sofa ini.
Inka mengulurkan tangannya mengajakku pergi, meninggalkan Sandra sendirian.
“Kita pergi dulu, San. Daa…”, Inka berpamitan kepada Sandra yang tersenyum dan melambaikan tangannya. Aku menatap Sandra, berharap lambaian tangannya bukan untuk Inka.
Malam itu aku menghabiskan waktu bersama Inka di salah satu pantai paling indah di Pulau ini. Langit cerah, walaupun hanya ada beberapa bintang yang kelihatan ceria dan bulan yang nggak benar-benar penuh. Kami menikmati butir-butir pasir yang menggelitik telapak kaki, suara deburan ombak, dan kata-kata yang keluar dari mulut kami. Seperti malam-malam sebelumnya, lenguhan dan teriakan kecil Inka terdengar di telinga, berakhir dengan pakaian yang terbaring diatas pasir pantai.
Kami terbangun saat matahari masih berada jauh di timur dan belum menunjukkan sinarnya sedikitpun. Kami pulang, menuju tempat kost Inka yang hanya berjarak lima belas menit dari pantai ini.
Inka mengetuk pintu kostnya beberapa kali sampai muncul wajah Sandra yang membuka pintu. Saat inilah yang selalu aku tunggu. Sandra akan muncul dengan piyama transparannya, tersenyum di balik pintu, membiarkan Inka masuk, lalu melambaikan tangan kepadaku. Inka nggak merasa curiga karena Sandra begitu lihai sekali menggodaku tanpa harus diketahui siapapun.
***********
Ini yang kesekian kalinya aku datang ke tempat kost Inka saat dia sedang bekerja. Maksud kedatanganku memang bukan untuk dia, tapi untuk Sandra, perempuan dengan senyum dan tubuh indah yang selalu dia perlihatkan kapanpun kepadaku. Sandra sudah menunggu saya di sofa ruang tamu. Biasanya dia sedang membaca buku. Saat melihatku datang, dia akan menurunkan sedikit bukunya, melihat kearahku, meletakkan bukunya diatas meja, lalu menghampiri, memeluk, dan kami berciuman.
Setelah menutup pintu kost, kami menuju ruangan di balik tirai tipis dengan kasur empuk yang cukup luas untuk kami berdua, lalu melanjutkan hal yang sudah biasa kami lakukan selama beberapa minggu ini. Dalam hal ini, Sandra lebih hebat daripada Inka, mungkin itu yang membuatku kecanduan dengannya.
Cuaca panas siang itu semakin terasa. Aku membiarkan keringat Sandra mengalir bebas di tubuhku. Wangi.
Kami semakin liar. Sampai saat aku terkejut karena mendadak Sandra berhenti dan terlihat kaget dengan apa yang dia lihat di belakangku. Dengan sedikit menoleh, aku melihat Inka berdiri di belakangku dengan kedua tangan yang menutupi mulutnya. Lalu dia berbalik badan dan berjalan keluar dengan cepat. Terdengar suara pintu ditutup dengan kasar. Inka menghilang dari pandangan dalam beberapa detik. Aku dan Sandra saling bertatapan, lalu melanjutkan apa yang kami lakukan. Buatku, menunda kenikmatan adalah pantangan. Inka? Urusan belakangan.
END