Jujur, tanganku masih gatel buat ngetik.
Tulisannya mungkin identik, sedikit mengkritik, tanpa niat yang picik.
Ini bukan puisi, sajak, atau pantun, tapi mungkin bisa membuatmu sedikit tersenyum santun.
Tentang ketidaksabaranku menunggu tanggal sembilan Juli,
biar nggak ada lagi caci-maki menghujani BBM, Twitter, Facebook, dan mungkin note ini.
Sudah pasti pilihan kita beda.
Pacarmu pilihanmu, pacarku pilihanku. Istriku pilihanku, istrimu pilihanmu.
Capresku capres pilihanku, capresmu capres pilihanmu,
mungkin juga paksaan bosmu, Harry Tanu (oe).
Nggak perlu teriak sinting, maling, anjing, kalau ternyata cerminmu tak terpasang di dinding. Apa kamu punya cermin?
Nggak perlu nuduh lawan komunis kalau sebenarnya kamu lebih bengis. Miris.
Nggak perlu nuduh pencitraan kalau sebenarnya lima tahun terakhir kamu terus-terusan ngiklan.
Nggak perlu sok-sokan tegas kalau sebenarnya kamu ganas beringas.
Terimakasih,
Saya dari awalnya dan #AkhirnyaMilihJokowi
bukan karena iming-iming materi, ini masalah nurani
Tulisan ini bukan untuk membuatmu pindah haluan,
tapi untuk memberikan pertimbangan buatmu sebelum mengambil keputusan.
Siapapun nanti, yang memimpin negeri ini,
kalaupun kalah, kita tetap dukung yang menang - itu pasti,
kalau menang, kita bisa sedikit berbangga hati,
karena setidaknya kita turut andil dalam pilpres kali ini.
Tidak hanya diam.
Tidak hanya menuduh orang lain berisik.
Tidak hanya menuduh orang lain sok ngerti politik.
Titik.
No comments:
Post a Comment
Tulis apa yang ingin kamu tulis: